Sabtu, 27 Februari 2010

Tugas Kewarganegaraan :D

400.000 Warga Jabar Buta Huruf

05 Dec 2009

Pikiran Rakyat⁠

Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal "Sweeping" PKBM Fiktif
TASIKMALAYA, (PR).-

Lebih dari sembilan juta penduduk Indonesia masih buta huruf. Sebagian besar dari mereka yang buta huruf berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Khusus di daerah Jawa Barat, warga yang buta huruf lebih dari 400.000 orang.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Nonformal dan Informal, Departemen Pendidikan Nasional Dr. Kli.mud Muhammad mengatakan, masalah buta huruf atau tidak bisa membaca dan menulis, sampai sekarang masih menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Alasannya, karena jumlah mereka yang buta huruf masih besar.

"Enam puluh persen yang buta huruf berada di Pulau Jawa. Di Jatim sekitar sebelas persen penduduk yang buta huruf yaitu sekitar tiga juta, lalu di Jabar sekitar 400.000 orang," katanya seusai menjadi pembicara seminar/haul K.H. Ruhiat dan K.H. Ilyas Ruhiat di Pon-tren Cipasung, Kec. Singaparna, Kab. Tasikmalaya, Kamis (3/12).

Penyebab buta huruf, kata Khamid Muhammad, sebagian besar mereka tidak mengenyam bangku sekolah atau drop out di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD). Pemerintah, akan berusaha menangani masalah buta huruf tersebut dengan dua pola.

Pola pertama, untuk mereka yang masih berusia 15 sampai 45 tahun. Polanya dengan cara belajar atau program keak-saraan. Ada tatap muka, lalu ada tutor yang memberikan bimbingan untuk membaca dan menulis.Sementara itu, mereka yang sudah di atas usia 45 tahun, proses belajarnya tidak langsung seperti anak-anak di sekolah. Akan tetapi, lewat belajar kewirausahaannya atau pelatihan kerja, dan lainnya. Di saat bersamaan mereka dikenalkan cara membaca dan menghitung.

Dirjen meminta kepada pesantren, seperti Pontren Cipasung Singaparna, untuk ikut mengatasi masalah buta huruf. Penanganan akan cepat jika semua pihak terkait, seperti pesantren juga ikut menuntaskan masalah buta huruf.

Mengenai adanya temuan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) fiktif yang mengajukan dan mendapatkan bantuan dana, Khamid mengatakan, pihaknya sedang melakukan pendataan ulang dan sweeping yang efektif 2010 mendatang. Termasuk di an-
taranya pemberian nomor induk lembaga. Di beberapa daerah, seperti Banten, Nusa Tenggara Barat, temuan PKBM fiktif diusut oleh polisi.

"Nanti PKBM harus punya registrasi, sehingga tidak sembarangan mendirikan atau hanya bikin proposal begitu saja. Hanya PKBM yang punya registrasi yang bisa mengajukan anggaran. PKBM penerima anggaran hasilnya akan ditampilkan dalam situs web sehingga masyarakat dipersilakan memberikan penilaian layak atau tidaknya PKBM dan kelompok belajar tersebut mendapatkan bantuan pendidikan," katanya.

Seminar/haul K.H. Ruhiat dan Kiai Ilyas Ruhiyat tersebut juga menampilkan pembicara K.H. Habib Syarif, penulis buku lip D. Yahya, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Neng Dara Affiah, dan wartawan "PR" Undang Sudrajat

Neng Dara Affiah mengatakan, sosok (alm.) Kiai Ilyas Ruhiyat telah memberikan warna lain di lingkungan pesantren, terutama tidak. membeda-bedakan perempuan dan laki-laki dalam menuntut ilmu. Contohnya, perempuan di Cipasung diberikan kesempatan untuk belajar kitab kuning yang lebih dalam.

"Dia bukan hanya santun, bijaksana, dan ikhlas. Akan tetapi, juga ulama yang memiliki pandangan sangat luas. Saya benar-benar bangga bisa masantren di Cipasung," kata alumni Cipasung yang sedang menyelesaikan program doktor di Universitas Indonesia ini. (A-97)**


Buta Huruf Perlu Penanganan Serius

Februari 23, 2008 7:12 am

Buta Huruf Perlu Penanganan Serius

INDONESIA termasuk dalam daftar 34 negara yang angka buta hurufnya tinggi. Global Monitoring Report menyebutkan negara ini ada di peringkat ke tujuh setelah antara lain China, India, dan Bangladesh. Ace Suryadi, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional menyatakan populasi penduduk yang buta huruf saat ini sekitar 15,4 juta orang.

Angka tersebut merupakan 9% dari jumlah total penduduk Indonesia. Dua pertiga atau sekitar 66% di antaranya adalah perempuan yang berlatar belakang keluarga miskin atau tinggal di daerah terpencil.

Sekitar 77% dari populasi buta huruf tersebut adalah orang dewasa berusia 45 tahun ke atas, sedangkan sisanya berusia antara 15 tahun dan 45 tahun.

Departemen Pendidikan Nasional yang paling berkepentingan dengan persoalan itu menargetkan angka buta huruf bisa diturunkan hingga 50% atau menjadi 7,7 orang pada akhir 2009.

Target pencapian itu didasarkan pada asumsi bahwa melalui berbagai program yang dijalankan setiap tahun bisa memelekkan sekitar 1,5 juta orang yang buta huruf.

Pada saat ini pemberantasan buta huruf difokuskan di sembilan provinsi yang angka buta hurufnya tinggi, yakni Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, Papua, Kalbar, NTT, dan Banten.

Penuntasan buta huruf dilakukan secara terus-menerus sejak tahun 1997. Namun sebenarnya upaya tersebut sudah dimulai sejak 50 tahunan lalu meski tidak seintensif sekarang.

Beberapa faktor yang mendorong angka buta huruf di Indonesia tinggi antara lain tidak mengenal nagku sekolah karena alasan ekonomi dan kondisi geografis.

Di samping itu, angka putus sekolah yang juga tinggi dan peserta program pemberantasan buta huruf tidak dipelihara secara baik sehingga kemampuannya merosot atau bahkan lenyap.

Setiap tahun hampir satu juta anak sekolah dasar (SD) putus sekolah karena berbagai alasan, terutama masalah ekonomi.

Orang tuanya tak lagi mampu membiayai sehingga beranggapan lebih baik anaknya membantu bekerja agar memperoleh uang untuk keperluan sehari-hari.

Sehubungan dengan itu program wajib belajar 9 tahun menjadi salah satu pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi buta huruf, terutama pada anak-anak usia sekolah.

Buta huruf bukan sekadar tidak mampu membaca dan menulis, melainkan berpotensi menimbulkan serangkaian dampak yang sangat luas.

Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pada Hari Pemberantasan Buta Huruf tahun lalu mengungkapkan kemampuan membaca dan menulis merupakan alat penting untuk memberantas kemiskinan.

Selain itu, untuk perluasan kesempatan kerja, peningkatan kesetaraan pria dan wanita, peningkatan kesehatan keluarga, perlindungan lingkungan hidup, serta penggalakan peran serta dalam demokratisasi.

Tak mengherankan jika kemampuan itu termasuk dalam indikator pendidikan pada indeks pembangunan manusia atau Human Development Index United Nations Development Programme (UNDP).

Indeks yang dikembangkan pada tahun 1990-an oleh Mahbub Ul Haq ekonom asal Pakistan tersebut mengukur kemajuan pendidikan berdasarkan kemampuan membaca dan menulis atau literasi.

Laporan UNDP tahun 2003 menempatkan indeks pembangunan manusia Indonesia pada urutan 112 dari 174 negara di dunia yang dievaluasi.

Tahun itu Vietnam menempati urutan yang lebih baik dari negara kita, yakni 109, padahal baru saja keluar dari konflik politik berkepanjangan.

Tahun 2004 indeks pembangunan manusia Indonesia menempati urutan 111 dari 177 negara yang diperingkat oleh UNDP atau di posisi paling bawah di antara negara-negara Asia Tenggara.

Kenyataan tersebut sungguh memprihatinkan karena sebelum krisis ekonomi 1997 Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu macan di kawasan itu.

Kini, melihat kemajuan pesat yang dicapai negara-negara tetangga, misalnya Malaysia, Singapura, dan Thailand, bahkan Vietnam, kita boleh merasa iri.

Namun jangan hanya berhenti pada rasa iri. Kita harus menguatkan tekat untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang di masa lalu pernah berguru kepada kita.

Salah satunya adalah bagaimana menangani angka buta huruf agar bisa ditekan sampai minimal, bahkan kalau mungkin diberantas sehingga semua rakyat melek huruf dan tulis.

Wajib Belajar

Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk menghilangkan penderita buta huruf sekaligus mencegah kemunculannya.

Pertama, program wajib belajar sembilan tahun harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan konsekuen. Selama ini ada kesan program itu hanya hangat-hangat tahi ayam.

Dukungan terhadap program itu, misalnya bea siswa bagi anak-anak tidak mampu dan bantuan sarana serta prasarana sekolah, amat kurang karena keterbatasan anggaran pemerintah.

Hingga kini belum ada kemauan politik untuk merealisasi anggaran pendidikan yang idealnya sekitar 20% dalam APBN, sehingga tak aneh kalau banyak program di bidang pendidikan yang tidak berjalan.

Swasta yang diharapkan ikut terlibat pun setali tiga uang alias sami mawon. Gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA) hanya ramai pada saat peresmian. Selanjutnya, dingin-dingin saja.

Untuk itulah sangat penting artinya menyegarkan kembali berbagai upaya mendukung program wajib belajar sembilan tahun.

Terutama kembali menggalakkan gerakan nasional orang tua asuh untuk menanggulangi angka putus sekolah kian membengkak di tengah anggaran pendidikan yang belum memuaskan.

Kita ketuk hati orang-orang yang berkelebihan, perusahaan-perusahaan swasta, serta badan usaha milik negara (BUMN) agar membantu pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun.

Kedua, menggalakkan sanggar-sanggar kegiatan belajar yang berbasiskan masyarakat. Sarana itu dibentuk, dikelola, dan dikelola secara mandiri oleh kelompok-kelompok masyarakat.

Model pendidikan nonformal semacam kelompok belajar paket A, B, dan C yang setara SD, SLTP, dan SLTA juga sangat membantu dalam memberantas sekaligus mencegah buta huruf.

Namun lebih ditekankan pada swadaya masyarakat di tengah kemampuan dan daya jangkau pemerintah yang masih terbatas.

Di sinilah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan bisa memainkan peran utamanya sebagai motivator dan fasilitator.

Khusus di daerah-daerah terpencil, tokoh masyarakat dan pendidik di daerah tersebut atau yang berdekatan bisa dimanfaatkan untuk mengajari baca tulis warga yang masih buta huruf.

Dana penyelenggaraannya baik untuk pengadaan peralatan maupun sekadar uang lelah bagi tutornya bisa diambilkan dari kas desa atau sumbangan orang-orang yang lebih mampu.

Ketiga, mendorong penerbit meningkatkan penerbitan buku-buku yang terjangkau oleh masyarakat bawah dari segi harga.

Pemerintah bisa membantu para penerbit melalui pemberian keringanan pajak serta penyediaan kertas yang murah tetapi berkualitas cukup baik.

Setiap tahun produksi buku di Indonesia baru berkisar 10 ribu judul, sedangkan di Malaysia dan Singapura sudah dua kali lipatnya lebih.

Di samping itu, menggalakkan pendirian perpustakaan hingga pelosok-pelosok desa. Organisasi semacam PKK, remaja masjid, karang taruna, bahkan posyandu bisa didayagunakan.

Buku-buku dan bahan bacaan lainnya bisa diperoleh dari berbagai lembaga atau perorangan, sedangkan tempatnya bisa di masjid, balai desa, atau rumah pengurus.

Dari upaya tersebut kita berharap budaya baca akan merasuk di kalangan masyarakat di tengah kemerebakan budaya nonton akibat serbuan stasiun-stasiun televisi swasta.

Setelah lepas dari buta huruf kemampuan dan minat membaca perlu ditingkatkan. Survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) pada tahun 1992 menunjukkan minat baca rakyat Indonesia ada di peringkat 27 dari 32 negara.

Sementara itu hasil survei Departemen Pendidikan Nasional (1995) menyebutkan 57% pembaca hanya sekadar membaca tanpa memahami dan menghayati apa yang dibaca.

Padahal membaca akan bermanfaat jika seseorang sudah memahami sesuatu karena kegiatan itu dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman atas bacaannya.

Berpijak pada ungkapan Sekretaris Jenderal PBB bahwa membaca dan menulis merupakan alat penting untuk meningkatkan kesejahteraan, kita mesti serius menangani persoalan buta huruf.

Menumpukan pada peran pemerintah saja tidak cukup, tetapi seluruh komponen masyarakat harus bergerak membantu program pemberantasan buta huruf. (Bambang Tri Subeno, wartawan Suara Merdeka di Semarang-27)

Program Bebas Buta Huruf, Indonesia 2011, Kalbar 2010

 Kondisi ini merupakan akumulatif dari keadaan yang dulu di mana pada 2004 lalu, jumlah penyandang buta huruf berjumlah 14 juta orang.

"Program pemberantasan buta huruf ini mendapat perhatian penuh dari pemerintah pusat dengan dikeluarkannya Inpres No 5 Tahun 2006," ungkapnya.

Target pemerintah tahun ini, jumlah buta huruf turun sebesar 5 persen menjadi 7,5 juta orang.

"Pemerintah juga menargetkan pemberantasan buta huruf selesai pada tahun 2011 mendatang di mana semua orang berusia 14-44 tahun dapat baca tulis," ungkapnya.

Qomar juga mengatakan pemberantasan buta huruf ini hanya mengalami hambatan geografis daerah saja seperti di Papua, di mana banyak warga belajar yang berada di perbukitan. Sedangkan persoalan putus sekolah pelajar SD yang selama ini menjadi beban karena menambah jumlah buta huruf sekarang tidak lagi. Sebab jumlah anak SD yang putus sekolah terus berkurang dengan adanya bantuan BOS yang membebaskan biaya sekolah mereka.

Persoalan lain, lanjut Qomar yang masih menjadi hambatan yaitu faktor budaya di mana adanya budaya di masyarakat yang sering beranggapan perempuan tidak perlu sekolah karena nantinya juga lari ke dapur. Akibat budaya ini, lebih dari 70 persen penyandang buta huruf adalah perempuan.

Kalau sekarang nasional, pemerintah pusat menargetkan Indonesia bebas buta huruf tahun 2011 mendatang. Diknas Kalbar berani menargetkan Kalbar akan bebas buta huruf pada tahun 2010. Kalbar yang saat ini menjadi salah satu dari sepuluh provinsi di Indonesia yang memiliki penyandang buta huruf terbanyak tercatat memiliki 53.697 orang yang buta huruf.

Kepala Diknas Kalbar, Alexius Akim mengatakan dengan adanya dana dari APBN untuk pemberantasan buta huruf di Kalbar diyakini tahun 2009 ini, Kalbar dapat memberantas buta huruf sebanyak 51.000 orang.

"Tahun ini Kalbar mendapat dana dari APBN untuk menuntaskan pemberantasan buta huruf sebanyak 51.000 orang. Dengan dana ini, Kalbar yakin tahun 2010, Kalbar akan bebas buta huruf," tegasnya.

Kalau tahun 2009, lanjut Akim, Kalbar mampu memberantas 51.000 penyandang buta huruf, maka tahun 2010, jumlah penyandang buta huruf tinggal 2.000-an orang dan jumlah ini akan diberantas dengan menggunakan dana APBD Kalbar di tahun 2010.

Diungkapkannya, kantong-kantong penyebaran penyandang buta huruf terbanyak terdapat di Sintang, Ketapang dan Sambas.

Guru Besar FKIP Untan, Marzuki menilai pelaksanaan program pemberantasan buta aksara masih lemah dalam pembinaan pasca kegiatan belajar oleh warga belajar. Seharusnya setelah warga belajar diajarkan baca tulis dan mereka telah bisa baca tulis, Diknas harus melakukan pembinaan lanjutan. Pembinaan ini dapat dilakukan bekerja sama dengan aparat desa setempat.

"Kalau tidak ada pembinaan lanjutan dikuatirkan, warga yang sudah bisa baca tulis ini akan kembali buta huruf," ujarnya.

Menurutnya, proses pembinaan juga dapat dilakukan oleh guru-guru yang ada di desa-desa sehingga proses belajar dilakukan terus menerus oleh warga belajar sampai warga belajar tersebut benar-benar lancar baca tulis. Selain itu, Diknas juga perlu menyediakan buku-buku bacaan berupa buku-buku cara bertani, mengembangkan keterampilan untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Sehingga program melek aksara juga diiringi dengan program melek kehidupan.

"Maksud dari melek kehidupan adalah warga masyarakat dapat juga meningkatkan taraf hidup mereka menuju keluarga yang tidak hanya cerdas tapi juga sejahtera," tegasnya.

Di Sumatera Utara, Buta Aksara Usia Produktif 247.148 Jiwa

Diposting oleh IBOEKOE on Oct 22nd, 2009 di topik Kronik. Anda dapat mengikuti diskusi pada berita ini melalui RSS 2.0. Anda bisa juga meninggalkan komentar dan trackback

Buta aksara di Sumatera Utara pada usia produktif (15 tahun ke atas) mencapai 247.148 jiwa atau setara dengan 2,98 persen. Angka ini menurun dibandingkan tahun lalu sebanyak tiga persen dari seluruh penduduk berusia lebih dari 15 tahun. Angka ini termasuk mereka yang mampu baca tulis dalam bahasa daerah.

”Kami bertekad terus mengurangi angka buta aksara. Target kami, akhir tahun ini mampu menurunkan angka buta aksara hingga 200.000 orang,” tutur Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Dinas Pendidikan Sumut Saut Aritonang, Rabu (21/10), yang ditemui di kantornya.

Dia mengatakan, tahun ini, Pemerintah Provinsi Sumut memanfaatkan dana dekonsentrasi untuk mendidik 45.500 orang pada program pendidikan luar sekolah. Pendidikan ini berlangsung informal dengan melibatkan para tutor yang direkrut pemerintah. ”Program ini sedang berjalan hampir di seluruh daerah,” katanya.

Saut menjelaskan, pengertian buta aksara, sesuai ketetapan Departemen Pendidikan Nasional, mereka yang tidak bisa mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Adapun mereka yang dinyatakan bebas buta aksara adalah mereka yang mampu membaca lancar 100 sampai 200 kata dalam kalimat sederhana.

Bahasa daerah

Sementara itu, masyarakat yang masih menggunakan bahasa daerah masih dianggap pemerintah masuk kategori buta aksara. Dia mengakui, pengertian ini sempat memicu polemik di sejumlah daerah. ”Namun, kami berpendapat, kompetensi masyarakat tidak cukup hanya dengan menggunakan bahasa daerah. Mereka harus menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional,” katanya.

Angka buta aksara tertinggi di Sumut terdapat di Kabupaten Nias Selatan, yaitu sebanyak 11.210 orang, disusul Kabupaten Nias 9.997 orang, dan Kabupaten Deli Serdang 9.515 orang.

Kepala Balai Bahasa Medan Amrin Saragih mengkritik pengertian buta aksara oleh Departemen Pendidikan. Pengertian tersebut mengabaikan kekayaan bahasa daerah yang selama ini turut memperkuat bahasa Indonesia. ”Pengertian ini juga akan membuat orang malas mempelajari bahasa daerah,” katanya.

Dari sudut pandang linguistik, pengertian buta aksara mengalami kesalahan. Mereka yang mengerti baca tulis bahasa daerah tidak bisa dikatakan sebagai buta aksara. Mereka, tuturnya, barangkali lebih pandai daripada orang yang berbahasa Indonesia. Hanya saja, mereka belum mengerti menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. ”Tidak adil jika orang Nias yang memahami simbol tulisan dan lisan bahasa Nias disebut buta aksara,” katanya.

Pembatasan pengertian buta aksara hanya untuk bahasa Indonesia perlu diluruskan.

Dia mengingatkan, bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa daerah. Menurut dia, tidak perlu ada pembatasan istilah buta aksara oleh Departemen Pendidikan.

* Dinukil dari Harian Kompas edisi 22 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar