Selasa, 02 Maret 2010

penyebab buta aksara

Berita Sulawesi Tengah

Selasa, 17 Juli 2007
Buta Aksara Penyebab Kebodohan dan Kemiskinan
Masyarakat Perlu Aktif Terlibat dalam GNPBA

PALU- Ada tiga hal yang selalu didegungkan pemerintah terkait pembangunan pendidikan di Indonesia, yakni wajib belajar pendidikan dasar, rehabilitasi sekolah dan pemberantasan buta aksara. Pasalnya tiga hal tersebut menjadi indikator penting dan bagian dari Human Development Indeks (HDI).

Menurut Kasubdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Dikjar Sulteng Drs Irwan Lahace MSi, parameter penting dalam penentuan HDI adalah ekonomi, kesehatan dan pendidikan. ‘’Dua komponen penting dalam indeks pendidikan adalah angka melek aksara orang dewasa dan lama pendidikan,’’ kata Irwan Lahace, kemarin (16/7).

Ditemui koran ini di ruang kerjanya, Irwan berbicara mengenai program pemberantasan buta aksara yang terus digalakkan pemerintah. Secara nasional, katanya, angka penduduk buta aksara memang masih mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang ada, kata Irwan, tak kurang dari 15 juta orang Indonesia masih belum mampu baca tulis dan menghitung. Dari jumlah itu, seitar 11 juta orang yang berusia di atas 45 tahun.

Di Sulteng sendiri, angka buta aksara sisa tahun 2006 lalu sebanyak 86.369 orang. Tahun 2007 ini Subdin PLS Dinas Dikjar Sulteng merencanakan menuntaskan sekitar 11.200 orang buta aksara. Target itu disesuaikan dengan dana yang disediakan APBN untuk 6.200 penduduk buta aksara dan APBD Provinsi Sulteng untuk 5.000 orang buta aksara.

Apakah penyandang buta aksara yang berusia di atas 45 tahun perlu dituntaskan? Ditanya seperti itu, Irwan mengatakan justru sangat perlu. ‘’Sebab sudah ada fakta yang menunjukkan bahwa buta aksara itu berbanding lurus dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Jadi sangat tidak manusiawi bila ada anggapan mereka tidak perlu diperhatikan dengan asalan umur yang sudah di atas kepala empat,’’ katanya. ‘’Buta aksara adalah penyebab kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, pengangguran dan produktivitas rendah,’’ imbuhnya.

Menurutnya, harus didasari bahwa dengan pemberantasan buta aksara sebenarnya dapat menjadi pemicu untuk memperbaiki upaya pembangunan di bidang lainnya. Misalnya, kata Irwan, upaya untuk menurunkan tingkat kematian bayi, meningkatkan umur harapan hidup dan meningkatkan gizi masyarakat. ‘’Bagaimana nasibnya generasi mendatang jika orang tuanya masih mengalami persoalan sosial yang berat seperti itu,’’ ujar Irwan.

Menyinggung jumlah penduduk buta aksara yang masih cukup besar, menurut Irwan bisa disebabkan beberapa faktor. Misalnya, masih terjadinya siswa usia sekolah yang tidak tertampung di sekolah dasar. Ada juga penduduk yang sejak awal memang tidak sekolah karena berbagai alasan, seperti keadaan ekonomi keluarga dan kondisi geografis. ‘’Ada juga penduduk yang pernah mengikuti program pemberantasan buta aksara, namun penduduk itu kembali menjadi buta aksara karena kurang intensif memelihara kemampuan keaksaraannya,’’ katanya.

Dibanding provinsi lain, Irwan mengatakan, Sulteng tidak masuk dalam 9 provinsi yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan kantong atau konsentrasi penduduk buta aksara. Ke-9 provinsi itu masing-masing Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, NTB, NTT, Papua, Banten dan Kalbar.

Dikatakan, Depdiknas telah menetapkan target bahwa angka buta aksara diturunkan hingga 50 persen sampai tahun 2009 mendatang. ‘’Untuk mencapai target itu tentunya harus dilakukan bersama-sama semua lapisan masyarakat dan stakeholeders dalam bentuk Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara (GNPBA) dan mewujudkan masyarakat gemar membaca dan belajar,’’ kata Irwan.

Untuk mendorong GNPBA dilakukan bersama-sama pemerintah daerah yang diberikan melalui block grant untuk kabupaten/kota, kecamatan dan desa. Selain itu kerjasama dengan unit pelaksana teknis pendidikan luar sekolah seperti Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB), Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPLSP) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Kerjasama juga bisa dilakukan bersama organisasi kemasyarakatan dan keagamaan seperti PKK, Muslimat NU, Aisyiyah Muhammadiyah dan organisasi sejenis lainnya.(sya)

SUARA PEMBARUAN DAILY

15 Juta Penduduk Indonesia Buta Huruf


JAKARTA - Sejumlah badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank dan Human
Right Watch sangat prihatin dengan kondisi penduduk dunia yang 861 juta
diantaranya masih mengalami buta huruf atau buta aksara. Ironisnya, 15,04 juta
diantaranya berada di Indonesia.

Pasalnya, masalah buta huruf atau buta aksara sangat terkait dengan kemiskinan,
keterbelakangan, kebodohan dan ketidakberdayaan masyarakat.

Atas dasar inilah badan-badan internasional gencar mengkampanyekan dan
mensosialisasikan pentingnya pemberantasan butu aksara di dunia khususnya negara
belahan dunia ketiga seperti Indonesia.

"Indonesia yang terlibat dalam forum Dakar - Senegal, sebuah forum negara
belahan dunia ketiga sepakat dengan point penting akan pengentasan masalah buta
aksara ini yakni mengurangi buta aksara sebesar 50 persen pada tingkat orang
dewasa pada tahun 2015. Sementara tekad pemerintah sekarang adalah mengurangi
hingga tinggal 5 persen pada tahun 2009 dari angka buta aksara yang saat ini di
Indonesia masih terdapat 15,04 juta," ujar Dirjen Pendidikan Pendidikan Luar
Sekolah, Dr Ace Suryadi kepada Pembaruan di sela acara rangkaian Hari Aksara
Internasional di Jakarta, Jumat (24/11).

Menurut Ace, berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2005, posisi
kebutaaksaraan penduduk Indonesia secara nasional untuk kelompok 10 tahun keatas
sebanyak 15,04 juta orang. Dengan perincian jumlah penduduk usia 15 - 44 tahun
yang buta huruf tercatat 3,.5 juta orang, sedangkan usia 45 tahun keatas yang
masih buta huruf tercatat 11,07 juta.

Sedangkan kemampuan pemerintah melalui APBN setiap tahun hanya mampu
membelanjakan sekitar 150.000 orang dan diperkirakan untuk tahun 2006 orang yang
berhasil dimelek hurufkan sekitar 420.000 orang.

Dengan demikian jika hanya mengandalkan pada kemampuan pemerintah, target
penyelesaian rencana pembangunan jangka menengah sebanyak 1.500.000 orang
pertahun berhasil dimelekhurupkan dirinya sangat pesimis hal itu bisa tercapai.

"Masalahnya UNDP menjadikan angka melek aksara ini menjadi satu variable dari
empat indikator untuk menentukan indeks pembangunan manusia (IPM) suatu negara,
disamping rata-rata lama pendidikan, rata-rata usaia harapan hidup (indeks
kesehatan) dan pengeluaran keluarga (indeks ekonomi). Variable kebutaaksaraan
penduduk ini sangat penting, baik secara statitika maupun praksis sehingga
sangat mempengaruhi IPM suatu negara. Oleh karena itu, apabila dilihat dari
perspektif nasional maka pemberantasan buta aksara mempunyai nilai strategis
disamping indikator lain," ujarnya.

Berdasarkan laporan UNDP tahun 2005, peringkat HDI Indonesia berada pada posisi
111 dari 177 negara. Sementera peringkat HDI Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara di kawasan Asia sangat jauh tertinggal.

Di Asia Tenggara kita sangat jauh tertinggal dari Singapura, sedangkan Malaysia
berada diperingkat 59, Thailand peringkat 76, Philipina peringkat 83 dan Vietnam
peringkat 109.


1 Juta Anak DO

Sementara itu, pengamat sosial kemasyarakat Universitas Sebelas Maret, Prof Dr
Sodiq A Kuntoro menegaskan disamping faktor kemiskinan baik struktural dan
absolut, penyebab buta aksara juga dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus
sekolah di Indonesia.

ìAdanya krisis multidimensional ini sangat mempengaruhi usaha pemerintah untuk
mensukseskan wajib belajar 9 tahun. Setiap tahun hampir 1 juta anak terancam
putus sekolah dasar dikarenakan berbagai sebab.

Angka putus sekolah SD dan madrasah ibtidaiyah, dalam enam tahun terakhir
rata-rata putus sekolah sebanyak 761.366 anak dari seluruh jumlah siswa SD dan
MI sebanyak 25.729.254 anak di Indonesia,î ujar Sodiq.

Putus sekolah anak SD ini, lanjutnya menjadi penyumbang terbesar bagi
bertambahnya jumlah buta aksara di Indonesia karena menurut penelitian UNESCO,
jika peserta pendidikan sekolah dasar mengalami putus sekolah khususnya ketika
dia masih duduk di kelas 1 hingga kelas 111, maka dalam empat tahun tidak
menggunakan baca tulis hitungnya, maka mereka akan menjadi buta aksara kembali.

Belum lagi masih banyak anak Indonesia yang belum memiliki kesempatan untuk
masuk sekolah karena orang tua atau keluarganya tidak mampu.

Kondisi ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan anak mereka untuk mendatangkan
pemasukan tambahan bagi keluarga.

"Belum lagi luasnya geofrafis dan masih banyaknya suku-suku terasing dan
terpencil sehingga sangat jauh dari jangkauan untuk mendapatkan akses
pendidikan. Hal ini menjadi faktor yang sangat kuat bagi pemerintah untuk dapat
mensukseskan pengentasan buta huruf di Indonesia," ujarnya. (E-5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar