Selasa, 02 Maret 2010

penyandang buta aksara baru

Perempuan

06 Mei 2009

Bebaskan Perempuan dari Buta Aksara

BERDASARKAN data Badan Pusat Statistik (BPS, 2007), 81,26 persen dari 6,6 juta orang penyandang buta aksara adalah perempuan. Mereka tersebar di delapan provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat,  dan Kalimantan Barat.

Sedangkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas (2009), jumlah perempuan buta aksara sekitar 6,3 juta orang, dan 70 persen diantaranya berusia di atas 45 tahun. Pertanyaannya, mengapa perempuan menempati peringkat pertama penyandang buta aksara? Apa yang melatarbelakanginya, dan bagaimana solusi mengatasi problem pelik itu?

Menurut Bambang Sudibyo (2008), ada tiga faktor yang melatarbelakangi fakta tersebut, yaitu kemiskinan, diskriminasi pendidikan, dan ketidakadilan sosial. Dari ketiganya, faktor diskriminasi dalam mengakses pendidikan merupakan penyebab utama.

Seperti diketahui, dalam masyarakat kita masih ada anggapan bahwa perempuan tabu mengenyam pendidikan. Sebab, tugas mereka nanti hanya di dapur, kasur, dan sumur. Singkatnya, sistem dan tradisi budaya kita terlanjur menempatkan perempuan sebagai orang kedua setelah laki-laki.

Akibat pandangan konvensional itu, perempuan sering mengenyam pendidikan rendah, yang menyebabkan mereka tidak bisa baca-tulis. Padahal, baca-tulis merupakan jendela untuk melihat dunia. Perempuan yang buta huruf akan melihat dunia ini dengan sempit, karena informasi yang diterimanya sangat sedikit.

Bahkan, perempuan hanya memiliki sedikit keahlian yang dapat diandalkan untuk memasuki dunia kerja. Akibatnya, sebagian besar perempuan cuma menjadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik, buruh toko, dan pekerjaan rendah lainnya.

Wajar jika UNICEF (2007) dengan tegas menyeru negara-negara anggotanya —termasuk Indonesia— untuk memberikan kesempatan pendidikan dan kesetaraan gender yang seluas-luasnya sebagai agenda utama abad ini. Tujuannya, selain memberikan perlindungan hak-hak perempuan, kesetaraan juga dimaksudkan untuk menciptakan dunia yang adil, toleran, dan tanggung jawab yang bersama-sama diemban antara kaum laki-laki dan perempuan.
Langkah Strategis Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini selain membebaskan kaum perempuan dari buta aksara. Mereka adalah kaum yang memiliki hak dan kesempatan yang sama seperti kaum laki-laki. Bukankah ketika pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilu legislatif (pileg), dan pemilihan presiden (pilpres), suara mereka juga diperebutkan?

Pemberantasan buta aksara, seperti tertuang dalam Inpres No 5/2006,  harus dilakukan dengan mengerahkan segala kekuatan, mulai dari presiden, menteri terkait, gubernur, wali kota/bupati, camat, sampai kepala desa. Sedangkan pendekatan horizontal dilakukan dengan melibatkan berbagai ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan lain-lain. Artinya, semua pihak harus bekerja sama menyatukan komitmen dan menjadikan buta aksara sebagai musuh bersama bangsa (come enemy).

Sudah saatnya kaum perempuan mendapat kesempatan pendidikan seluas-luasnya. Pemerintah bersama para stakeholders harus bahu-membahu menyadarkan masyarakat mengenai arti penting pendidikan bagi anak perempuan mereka.

Para pendonor dan penyandang dana harus merubah orientasi biasiswa. Jika semula yang berkesempatan mendapat beasiswa lebih banyak laki-laki, kini harus memberikan porsi yang sama.

Organisasi massa (ormas) dan organisasi keagamaan harus menjadi ujung tombak pemberantasan buta huruf bagi kadernya. Melalui majelis pendidikan di setiap cabang, kedua ormas ini bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk melakukan sosialisasi pentingnya pendidikan kepada masyarakat.

Institusi dan lembaga pendidikan pun harus menjadi media transformatif bagi pengentasan buta aksara. Artinya, model pembelajaran selalu melibatkan siswa pada kesadaran, kehidupan nyata atau hubungannya dengan orang lain. Singkatnya, siswa dilatih menekuni pekerjaanya sebagai sarana menemukan makna baru, sekaligus memahami karya itu sebagai objek budaya.

Perusahaan-perusahaan besar sebagai penyedia dana di luar sistem harus menyisihkan sebagian penghasilannya, misalnya tertuang dalam corporate social responsibility (CSR). Anggaran yang terkumpul, bisa digunakan untuk kegiatan pelatihan, perekrutan relawan, dan pembentukan LSM.

LSM inilah yang kelak akan memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan yang belum diajarkan di sekolah atau berbagai organisasi otonom. (Siti Fathimatuz Zahroh, aktivis gender, alumnus Politeknik Kesehatan Yogyakarta-32)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar